Rabu, 14 November 2007

Maenpo sabandar

Melumpuhkan dengan Rasa Pesilat Sabandar tidak hanya mengandalkan kecepatan dan kekuatan dalam perkelahian. MAENPO SABANDAR Tubuhnya tampak ringkih. Punggungnya sedikit melengkung. Saat berjalan, langkahnya tertatih. Secara fisik, Wak Entir, 92 tahun, memang memprihatinkan. Ditambah lagi hanya sebelah matanya yang melek. Pendengarannya pun sudah sangat berkurang. Tapi, kalau sudah diajak sparing tempelan, Tenaganya langsung bangkit. Lawan yang lebih muda dijamin kerepotan, kata R. Memet Muhammad Tohir, sesepuh maenpo Sabandar. Adapun Wak Entir adalah sesepuh maenpo (sebutan orang Sunda untuk pencak silat) Cianjur aliran Sabandar. Sabandar adalah salah satu aliran pencak silat di Cianjur yang diperkenalkan oleh Muhammad Kosim (1776-1880). Ia adalah seorang pendekar dari Pagaruyung, Sumatera Barat, yang berkelana ke Pulau Jawa. Kosim muda sempat tinggal di Jakarta sebelum melangkahkan kaki ke Kampung Sabandar, Cianjur, untuk menetap di sana. Aliran silat yang ia bawa ini kemudian dinamai sesuai dengan kampung tempatnya bermukim. Menurut Memet, pada saat itu di Cianjur sudah ada aliran silat yang cukup terkenal, yakni Cikalong, yang diciptakan oleh R. H. Ibrahim. Aliran silat ini banyak dipelajari oleh kaum menak atau bangsawan setempat. Salah satu murid Ibrahim, yakni R. H. Enoh, kemudian juga berguru kepada Mamak (panggilan orang tua di Sunda) Kosim. Langkah Enoh ini diikuti oleh beberapa murid Ibrahim lainnya secara diam-diam. Meski begitu, Ibrahim akhirnya mengetahui bahwa beberapa muridnya ternyata juga berguru kepada seseorang yang ia tak kenal. Lantas, karena penasaran, ia berkunjung ke Kampung Sabandar untuk menemui Mamak Kosim. Di sana, kedua pendekar tersebut sepakat menjajal ilmu masing-masing. Namun, begitu tangan keduanya menempel, Mamak Kosim terkejut. Ia tahu ilmu Ibrahim sungguh hebat. Hal serupa dirasakan Ibrahim. Kalau saya yang menyerang duluan, pasti saya terluka. Kalau Anda yang mencoba menyerang, pasti Anda yang terluka, kata Ibrahim kepada Mamak Kosim, seperti diceritakan kembali oleh Memet. Keduanya lalu hanya berdiam diri. Tak ada yang berani memulai serangan. Lebih baik kita akhiri saja sebelum ada yang terluka, kata Mamak Kosim. Ibrahim setuju dan keduanya pun berjabat tangan. Ilmu pencak silat Sabandar akhirnya berkembang secara pesat, terutama di kalangan menak atau bangsawan lokal dan kelompok tarekat serta pesantren-pesantren di daerah Cianjur. Salah satu murid Mamak Kosim adalah Ajengan Cirata. Ketika hendak pindah ke Purwakarta, ia meminta Mamak Kosim ikut serta. Beliau setuju dan menetap di Purwakarta hingga akhir hayat. Meski Mamak Kosim sudah tiada, murid-muridnya tetap melanjutkan penyebaran ilmu pencak silat ini di Cianjur. Kini aliran Sabandar banyak ditemui di wilayah Bojongherang dan Cikaret sebagai pusat perguruan. Karena generasi kedua aliran ini juga belajar Cikalong, gaya kedua aliran akhirnya saling mempengaruhi. Persamaan keduanya adalah menitikberatkan pada rasa, kata Pepen Effendi, sesepuh Sabandar. Rasa bisa diterjemahkan sebagai upaya mendasarkan dan menyesuaikan sirkulasi pergerakan dengan kekuatan lawan. Dengan rasa, pesilat Sabandar tidak hanya mengandalkan kecepatan dan kekuatan dalam perkelahian, tapi juga sensitivitas fisik sehingga mampu membaca arah gerakan atau serangan musuh dan menggunakan kekuatan atau energi yang pas untuk mengantisipasi serangan tersebut. Ada dua jenis rasa. Yang pertama adalah rasa antel, yang dipelajari dengan berlatih tempelan, yakni latihan pergerakan tangan berpasangan atau sparing. Yang kedua adalah rasa anggang, yang merupakan kemampuan mendeteksi Karakter khas Sabandar lainnya adalah titimbangan, yang berarti keseimbangan. Maknanya bahwa pesilat Sabandar menitikberatkan usahanya untuk mencari keseimbangan tubuh yang tepat. Pada saat bersamaan merusak keseimbangan lawan dengan memanfaatkan tenaganya, kata Pepen. Untuk mampu menguasai titimbangan dengan baik, pesilat Sabandar harus mempelajari kaidah leleus atau melemaskan dan menghaluskan gerak tubuh. Tujuannya agar lawan yang dihadapi tidak menyadari kekuatan dan, Memancing musuh untuk mengeluarkan kekuatannya, kata Cece Sumantri, sesepuh Sabandar. Pada saat musuh mengeluarkan tenaganya itulah pesilat Sabandar melakukan elakan halus yang membuat serangan lawan menemui tempat kosong. Konsep inilah yang disebut 'leungit' atau menghilang. Artinya serangan lawan yang terpancing dengan energi penuh hanya menemui tempat kosong, katanya. Ketika itulah pesilat Sabandar menyerang dengan memanfaatkan tenaga lawan yang sudah habis tersebut untuk menyerang dan melumpuhkan lawan, yang disebut tungtung gerak. Jika ada seorang kakek di Cianjur dan terlihat renta, jangan sesekali mengusiknya. Siapa tahu sang kakek ternyata adalah sesepuh Sabandar yang tampak ringkih, tapi ketika diajak sparing tempelan langsung membuat Anda tersungkur. Penulis : AMAL IHSAN Koran tempo edisi Minggu, 24 Juni 2007 Publish By Core 01 - Buncis www.silatindonesia.com

Tidak ada komentar: